Senin, 18 Oktober 2010

A RING

Rinai hujan temani langkahku mengarungi samudra hitam dengan lalu lintas yang cukup padat menuju peraduan sepiku. Arlogi kesayanganku terpaku pada titik 17.15, hari yang melelahkan dan berat untukku karena hari ini aku dari pagi sudah ada di kampus untuk mengatur jadwal olahraga yang akan diselenggarakan kampusku tercinta, tepatnya sekitar satu mnggu lagi, kemudian disambung dengan kuliah sampai aku pulang sekarang.
Hujan yang tadinya berupa gerimis perlahan – lahan semakin memperbanyak dirinya, kuteduhkan diriku pada sebatang pohon tua yang memiliki akar – akar yang besar dan kuat sambil menunggu hujan mereda
“ beruntung hari ini tidak ada jemuran “. Gumamku
24 juni akan segera berakhir, dalam diam pikiranku melayang memandangi titik hujan menghantam genangan air pada tanah, beriaknya dengan keindahan, pikiranku tenggelam kemasa laluku saatku di kampungku, aku yang cuma anak buruh tani, bisa kuliah di kota besar ini, tentu saja dengan bantuan beasiswa. Sudah enam bulan aku tidak pulang kekampung halamamku, rasanya sudah sangat rindu pada kampungku terutama orangtuaku.
Sayup – sayup terdengar namaku dipanggil, tak terlalu terdengar karena harus beradu dengan riuhnya bunyi hujan, sebuah mobil putih searah dengan arah suara yang tadi memanggil namaku, perlahan – lahan pintu dari mobil itu terbuka kulihat teman kuliahku yang juga hari ini kuliah sampai petang, gadis berkulit putih itu mengisyaratkanku untuk masuk ke mobilnya.
Nadia nama gadis yang sedang mengantarkanku untuk mencapai peraduan sepiku dengan mobilnya, Nadia berkulit putih bersih, seperti sebagian besar gadis keturunan lainnya, dnegan matanya yang agak sipit sesekali mencoba melirikku yang agak sedikit kebasahan karena kehujanan, aku tak mengerti arti lirikkannya itu, rasanya seperti hendak menelanjangiku. Tak terlalu lama karena memang peraduanku tak telalu jauh dari kampus. Sebelum pergi, Nadia mengatakan padaku untuk menghubungi Rissa, untuk menanyakan perihal tugas kami yang sedang dikerjakan Rissa.
Rissa nama gadis yang menurutku sangat manis, juga seorang muslimah yang baik, Rissa sebenarnya masih satu kampung halamam denganku hanya saja sekolah kami dulu berbeda, Rissa terkenal dengan gadis cantik yang tatt beribadah karena itu dia juga agak sedikit menjaga imagenya sebagai muslimah sejati dan aku sangat menyukainya.belum sempat aku mempunyai keinginan untuk menghubunginya handphoneku berdering tanda ada sebuah surat masuk, ku angkat handphoneku tadi yang telah kuletakkan di atas meja, hanphone yang menurut teman – temanku sudah layak untuk di museumkan, surat tersebut dari Rissa yang memberitahukan bahwa tugas kami telah selesai dia kerjakan.
Kunyalakan lampu kamar yang mulai agak redup, kulihat sekeliling ruangan yang selama ini menjadi tempatku melelpas lelah, rumak tempatku berteduh dari panas dan hujan. Tak ada sesuatu yang istimewa di peraduanku ini cuma ada kasur, tikar, dan sebuah kipas angin tua, dan buku – buku yang berserakan. Sudah dekat maghrib, aku segera melepas semua pakaianku dan menuju kamar mandi yang memang berada di luar dari kamarku, dengan cum berlilitkan handuk di pinggang aku setengah berlari menuju kamar mandi untuk semua tersebut.
Kunyalakan kran air untuk sedikit memenuhi bak tempatku mengambil air untuk di siram ketubuhku, kugantung handukku yang tadi terlilit di pinggangku, ketika hendak menyiramkan air ketubuhku, aku melihat sebuah cincin yang terpasang di jari manis tangan kiriku, cincin yang punya arti khusus buatku.
10 oktober 2008, hari ini adalah ulang tahun orang yang paling berharga untukku, aku sudah menyiapkan hadiah yang khusus untuknya, namanya Rena Yulida hari ini genap 17 tahun dia lahir kedunia. Hari masih pagi, aku sengaja datang lebih awal ke sekolah untuk mempersiapkan beberapa kejutan untuknya, memajang beberapa puisiku untuknya. Rasa gugup membuatku membuatku tak bisa konsen belajar, dan akhirnya bel pulang berdering, kutemui dia di kelasnya.
Di hadapan semua teman – temannya kukecup keningnya tanda bahwa aku sangat mencintainya, kemudian kuserahkan hadiah khususku untuknya yaitu berupa sepasang cincin bertuliskan namaku dan namanya, mukanya memerah ketika kupasangkan cincin itu di jari manisnya, bersama histerisnya teman – temannya cincin yang bertuliskan namanya dipasangkan ke jari manisku, ku akhiri dengan sebuah ciuman di tangannya, semua sangat indah, serasa kami adalah sepasang pengantin baru, aku berjanji akan selalu menjaganya sepenuh jiwaku.
Dia meminta izin denganku untuk segera pulang untuk menjaga rumahnya, karena keluarganya sedang ada acara di luar kota. Aku masih melihatnya sampai belokan pertama dari sekolahku, setelah itu terdengar dengan keras bunyi dari dua benda yang berkecepatan tinggi saling berbenturan, diakhiri oleh terlemparnya ke samudra hitam seorang gadis cantik berpakaian seragam putih, abu – abu. Jantungku berhenti berdetak, darahku lenyap seketika, denyut nadiku hilang, tulangku kehilangan pondasinya. Dengan perasaan tak tahu meti bagaimana, berlari ke gadis yang tadi terlempar ke lautan hitam, terlihat sungai darah mulai membanjiri sekeliling gadis tersebut, gadis itu cuma diam tanpa ritihan, tanpa teriakan di tengah darah yang terus mengalir.
Gadis cantik yang terindah dalam hidupku hari ini benar – benar datng ke rumah sakit seperti yang dia inginkan, hanya saja bukan sebagai dokter seperti yang dia cita – citakan. Gadisku dibawa ke ruangan bertuliskan IGD, seorang perawat melarangku untuk masuk kedalamnnya. Aku langsung menghubungi keluarganya yang sedang berada di luar kota, tapi sebelum aku sempat menceritakannya kepada keluarganya apa yang terjadi, perawat yang tadi melarangku untuk masuk menemani gadisku di ruangan IGD dengan wajah penuh penyesalan.
Dokter cantikku telah pergi selamanya meninggalkanku, penyesalanku tak ada gunanya lagi, inilah akibat kegagalanku menjaganya. Malam ini malam pertamanya tanpa teman, tanpa selimut hangat hanya ada kain putih membungkusnya, bersemanyam di tempat tidur barunya, tidur untuk selamanya. Aku terus mengutuk diriku karena tak mampu menjaganya, melindunginya. Dokterku yang cantik kaku di bawah sana.
Aku ingin bersamanya, aku mencoba akhiri hidupku namun selalu saja gagal, yang terakhir aku terbaring lemah di rumah sakit selama beberapa hari. Sebuah cincin di jari manisku mengingatkanku tentang seorang gadis cantik yang dulu tak pernah kehilangan semangatnya unutk terus mengejar impiannya. Keluar dari rumah sakit aku mencoba mencari pasangan cincinku, tapi tak pernah kutemukan lagi dimanapun, cincin itu pergi bersama gadisku untuk selamanya.
Tetes air mataku sekaligus mengakhiri mandiku kali ini, pintu kamar mandi diketok – ketok tanda aku telah terlalu lama didalam sana. Cincin di jari manisku terukir dengan jelas nama Rena Yulida seperti lubang yang tersisa di hatiku hanya untuknya, dia akan tetap hidup di dalam sana untuk selamanya, sebuah cincin seperti hatiku yang sendiri.