Minggu, 22 Mei 2011

Ke Seberang Dermaga

Angin bertiup melemparkan rambutku, kupandangi lagit yang tak punya lukisan lagi, hanya kanpas biru, tercium wangi laut di hadapanku, kurasakan deburan ombak seolah berusaha membelah karang, matahari seakan menerangi kabut hati ini, beberapa kapal beristirahat dengan santainya, bersebrangan dengan kantor – kantor yang melihat kearahnya, dengan langkah berat kulangkahkan kaki lemahku turun ke dermaga, angin seolah mengusirku dengan kencang, tapi sepertinya tekatku telah bulat, kulirik kesebelah kanan, terlihat ABK sedang memuat container – container yang berton – ton, seolah bersiap melakukan perjalanan jauh, di depan kapal yang akan kunaiki pikiraku terbang lagi, “mau apa aku kesana?, benarkah yang kulakukan?, lalu selesaikah masalahku kalau begini?, “: pikirku
Aku melihat sekeliling stasiun Garut, kehilangan arti dari masa emasnya, samakah denganku? Aku yang kini tak ada arah untuk melangkah, berharap tak lebih dari lepas ingatan tentangnya. “cover?” pertanyaan tersebut membangunkanku dari pikiran kosong yang telah terbang, apa maksud pertanayaan itu, apakah dia ingin membawakan coverku yang menjadi bebanku sekarang? Atau dia sedang mencari dimana coverku. Kulihat wajah mudanya, dengan senyum manisnya seolah menghipnotis untuk mengambil jasa yang dia berikan, tapi sekarang hanya cover ini bebanku yang sudah pasti bisa kubawa sendiri. “tidak, terima kasih” jawabku menolak tawarannya. “andai dia mau membawakan beban hatiku, pasti langsung ku iya kan.!” Keluhku dalam hati.
Di luar stasiun tampak sangat lengang, jarang sekali terlihat penumpang yang mau bepergian hanya ada abang – abang yang sesekali menwarkan jajanan kepadaku, sangat berbeda dari masa jayanya dulu di masa belanda, stasiun ini menjadi pusat transportasi yang sangat ramai. Kududukkan tubuhku di kursi panjang yang dulu saksi kejayaan stasiun ini, sekali lagi kutatap langit yang masih tak ada lukisan disana, kupejamkan mata sekedar merasakan sejenak hembusan angin yang perlahan membisikkan lagi kejadian yang membebani hidupku sekarang, tapi aku tak boleh semakin tenggelam karenanya. Kutinggalkan tempat bersejarah tersebut dengan perlahan melangkahkan kaki, walau tak ada tujuan, kaki ini akan membimbingku kearah yang tak tau kemana, seperti kudatang ke kota Garut ini. Perut ini sudah berontak, memang dari berangat tadi dia belum ku isi, mata ini memcari – cari tempat untuk mengakhiri raungan perut ini, sampaiku di rumah makan sederhana, segera kududuk di kursi pangjang pada bagian yang kosong.
Kembali kusususi lekuk kota Garut, berjalan tanpa tujuan di kepalaku masih kosong keinginanku, walau sekarang aku merasa punya tenaga bahkan untuk mengelilingi dunia, mentari semakin turun dari puncaknya, masih panas tapi sudah tiadak terlalu lagi. Sambil berjalan kulihat banyak muda – mudi Garut tetrlihat di jalan denang seragam putih abu – abunya, tampaknya sekarang sudah waktu mereka pulang sekolah, mereka bercanda, saling



tertawa untuknya masing – masing, bahkan ada juga yang dengan mesra begandingan tangan dengan pasangannya, “ah, nikmatilah selagi bisa, kalu sudah sepertiku semuanya itu tak lebih dari kenangan” : pikirku. Semakin jauh aku melangkah, matahahri seperti lelah menemaniku, terbersit di benakku mencari tempat bermimpi malam ini, aku yang tak mengenal tempat ini berlebihan untuk mencarinya sendirian, hingga kuminta seorang ojek untuk mengantarkanku ke penginapan yang murah, aku harus berhemat sekarang.
Burung – burung pagi senyap – senyap terdengar bernyanyi menyambut pagi yang lumayan dingin disini, bagiku semuanya hanya mengolok – olok perasaan bersalahku pada kedua putriku, sedang apa mereka sekarang?, sudahkah bangun?, sarapankah mereka? Bagaimana meraka di sekolah? Pertanyaan – pertanyan it uterus menghabtui pikiranku pagi ini, terlebih malam tadi aku bermimpi kejadian yang harus kujalani sebagai beban, mimpi tentangnya, dan pemilik kedua puriku, aku harus apa? Pikiranku sekali lagi menyesatkanku, menghilangkan arah hatiku, memanggil kabut luka ini lagi. Perlahan bangkitku dari pembaringanku malam tadi, inderaku mencari tempat menyiram air pada tubuhku, kumasuki tempat itu tanpa maksud, kulepas pakaianku yang seharian membelit tubuhku, kusiram tubuh lunglaiku dengan dingin yang menusuk hingga tulangku, berharap bisa hilangkan penat di tubuh ini, terlebih lagi seandainya bisa menghapus masalahku sekarang.
Kulihat banyak muda mudi Garut, di jalanan kota Garut, mereka seragam rapi dengan warna putih abu- abu, juga putih biru, dan ada beberapa yang mengganakan bawahan berwarna merah, sekarang memang masih pagi, aku sudah keluar dari tempatku menginap malam tadi, dan berencana hari ini untuk mencari sebuah rumah sederhana untuk kusewa. Perut ini menyanyikan lagi nyanyian paginya, meminta pemiliknya untuk segera mengisinya. Kaki ini berhenti di sebuah warung pinggir jalan, wanginya menawarkan lagu baru untuk perut yang sedang ingin berdendang, segera kududuk di sebelah bapak – bapak yang berkumis tebal sedang sengaja melempar senyum ke arahku. Nyanyian pagi ini telah selesai dipertunjukan, segera kulanjutkan derap kaki lemah ini setelah kuberikan lembaran kehidupanku, langit terlihat indah di bawah sini tak hanya kanvas biru tapi juga goretan – goretan awan putih sebagai pewarnanya.
Sampai kaki ini mengantarkanku ke sebuah pangkalan ojek, tempat dimana aku menanyakan rumah yang bisa kusewa, dengan ramah seorang tukang yang menawarkan jasanya untuk mengantarkan orang tersebut, menunjuk sebuah rumah di seberang pangkalan tersebut. Pak Burhan nama pemilik rumah itu, sepertinya orang baik dan terlihat ramah, rumah tersebut cukup murah untuk kemewahanku yang dulu, sekarang mengisi perut saja aku masih harus menghitungnya matang – matang, karena memang aku sangat membutuhkan rumah untuk berlindung, dengan berat tangan ini menyalami tangan pak Burhan tanda menyetujui harga yang
ditawarkan. Rumah ini tak sebesar rumahku yang dulu, tak ada pendingin ruangan, tak ada televisi, ataupun mesin cuci, rumah tersebut memilki dua buah kamar tidur, dan satu ruang tamu, sangat lumayan untukku yang sedang menghidari masalah.
Malam ini malam pertamaku tinggal di rumah baruku ini, tak ada yang special, hanya kasur dan tikar seadanya, bayang kembali hentikan denyut otakku, tentang kedua putriku,



“sedang apa mereka sekarang? Rindukah mereka denganku? “ bayang mereka benar – benar menghantuiku, sekarang pukul 19.45, pada saat ini mereka biasanya sedang asyik menonton
kartun kesayangan mereka, bahkan mereka punya bonekanya sebesar badan mereka hadiah dari papa mereka. “mas Dimas, maafkan aku! Maafkan aku, aku ini bodoh, bodoh sekali!!” dalam tangisku mengingat kelurgaku yang sangat kucintai.
Tiba – tiba rasanya dada ini panas, karena teringat nama pak Jaya, kepala kantor sekaligus temanku bermain api, “ Jaya, brengsek!!!!” umpatku, karena dia aku jadi begini, Karena dia aku kehilangan kelurgaku, karena dia aku kehilangan canda kedua putriku, semua karena dia. Lalu seolah mendingin, air mata ini kembali terjatuh membasah pipi “ ini juga salahku, kenapa dulu aku mau, bermain api dengannya, kenapa aku tergiur hartanya, kenapa aku terlalu buta karena materi, dan sekarang apa, dia melimpahkan padaku juga masalahnya”, : kataku dalam hati “sial, aaaaaaaaaarrrrrggghhhhtttt !!!!!!!!!” kasur keras ini basah akibat tangisan malamku, tapi hati ini tak juga reda, tetap rasanya sakit dan beban itu ada. Smapai mata ini terlalu berat untuk sekedar membukanya.
Hari ini hari keduapuluh aku di rumah ini, segalanya masih berjalan normal masih dengan beban dan rasa bersalah yang terus membebaniku, terlebih lagi sekarang persediaan hidupku menipis, terpikir olehku untuk mencari pekerjaan, tentu aku tak bisa lagi bekerja di bidang formal, karena namaku telah tercoret karena ulahku sendiri. Disaat yang tepat datang bu Burhan dengan maksud menanyakan kabarku, sekalian saja kutanyakan dimana aku bisa mendapatkan pekerjaan, dengan santai ibu Burhan menjawab kalau dia punya kenalan yang bisa menyalurkan TKI keluar negeri, mungkin maksudnya Biro Penyalur Tenaga Kerja Indonesia, jujur aku sangat tertarik dengan tawaran tersebut, dan meminta ibu Burhan menemaniku besok ke Biro tersebut, mungkin aku bisa menemuakan hidup baru di negeri orang pikirku.
Aku telah berada di sebuah kantor biro yang kemaren di ceritakan oleh bu Burhan, aku diminta melengkapai syarat – syarat, dan mengisi formulir yang telah disediakan, setelah selesai aku beristirahat sejenak smabil membuka koran yang tergeletak di atas meja, berita utamanya sangat menusuk hatiku, tercetak dengan huruf capital dan besar “TERSANGKA KORUPTOR DANA APBD” dan disana tertulis dengan jelas nama JAYA KUSUMA dan SISKA DEWINTA PUTRI, namaku dan pak Jaya, aku sudah jadi buronan sekarang, seperti mustahil untukku kembali kepada keluargaku, dan melihat lagi senyum manis kedua putriku, dan ini seolah memantapkan hatiku untuk segera pergi ke negeri orang.
Sekerang tepat satu bulan aku dilatih di biro ini, walau merasa aneh karena teman – teman yang dilatih disini bahkan tidak pasih berbahasa Indonesia, apalagi bahasa luar, tapi menurutku peduli setan, mereka ya mereka, aku ya aku. Setelah satu bulan ini akhirnya aku terpilih untuk menjadi TKI ke Hongkong berama mereka yang cuma tahu “yes” dan “no”. dan yang lebih mengherankan kami ke Hongkong tidak mengunakan pesawat melainkan kapal laut. Tapi yasudahlah, yang penting aku bisa lari dari masalah ini. Dengan pasti aku kemasi barang barangku dikoper yang selalu menemani langkahku. Hidup baruku sudah dekat dan aku akan memulai hidupku di sana, di negeri baru itu, jauh dari masalahku sekarang.



“koper?”
Suara tanya itu menghamburkan lamunanku, lamunan sebelum hari ini, aku telah berada di depan kapal yang akan membawaku pergi jauh, disebelah kananku ada seorang bapak – bapak menawarkan jasanya untuk membantuku mengangkat koperku, sama seperti pertama kali aku tiba di Garut dengan kereta api, kali ini kembali kutolak dengan manis rayuan bapak tersebut, karena aku masih mampu membawanya sendiri. Angin laut yang kencang kembali menolakku untuk menaiki tangga kapal, tapi sepertinya tekatku memang benar – benar bulat, untu melepaskan semua bebanku, tapi akankah aku bisa terus lari dari masalah ini? Bagaimana kedua putriku? Pertanyaan – pertanyaan tersebut terus menghantui benakku sepanjang menaiki tangga kapal ini, mengisyaratkan padaku untuk tidak pergi, tangga terakhir kulalui, seperti meyakinkanku untuk sekali lagi lari dari kenyataan. Sirene kapal berbunyi tanda segera kuberangkat, selamat tinggal semuanya, selamat tinggal kenyataan, ke seberang dermaga ku lari.

Mas Dimas tersayang
Ketika kau baca surat ini, artinya aku tak akan lagi pernah ada di hidupmu, aku ini terlalu hina untuk bersamamu, terlampau bodoh untuk dicintaimu, dengan surat ini aku meminta maafmu, aku sadar aku ini penjahat terbesar di hidupmu, surat inilah kenangan tentangku yang akan segera hilang dari benakmu, aku terlalu lemah untuk lelaki sekuat kamu, aku tal lebih dari binatang yang berterbangan di atas sampah, aku bodoh dan bahkan aku tak berani meminta maafmu secara langsung
Tolong jaga Nadia dan Adinda ya?mereka adalah kita waktu kita bahagia, jangan sakiti mereka, aku cuma mohon dengan sangat hal tersebut, aku hanya percaya padamu, mereka adalah buah hatiku yang sangat kucintai, lebih dari nyawaku, dan aku mohon katakana ke mereka kalau aku telah mati, karena aku tak mau mereka mencariku suatu saat nanti , aku sangat mencintai mereka, tolong jaga mereka ya mas!!
Maafkan aku!!!
Love you

Siska